Isyarat Sepasang Mata




Isyarat Sepasang Mata
Karya Ririn Anindya Putri

Siang bukan hanya menerik tanpa ragu namun juga angin tak mau bertamu. Sebab berkeringat, baju kami membasah sedang kerongkongan sebaliknya, kering. Syukurnya, hanya selang beberapa menit duduk mengitar meja kantin, teh manis dingin pesanan kami berempat sudah terhidang dan tak memerlukan kata pengantar untuk segera diseruput.

 “Di urutan pertama, hewan apa yang kalian suka dan kenapa?” Wulan mendelikkan mata bulatnya ke arah kami.

“Kucing. Melangkah dengan anggun, pemalu, tapi juga cekatan.” Sarah menurunkan pipet dari apit bibir merah mudanya.

“Angsa lebih anggun, berkelas. Tahu tarian swan di balet, kan?” Moli menyela.

“Anggun? Tidak banyak kenangan yang kuingat sebelum aku duduk di bangku TK tapi yang paling membekas adalah dikejar angsa. Aku berlari sekuat tenaga sambil menangis. Sampai sekarang aku selalu saja was-was jika bertemu angsa.” Aku berkata serius tapi teman-temanku malah tertawa.

“Jadi Lian, hewan apa yang yang kamu suka?” Wulan kembali mendelikkan mata cerlangnya.

“Orangutan, pernah sekali melihatnya di kebun binatang, kesan yang kudapat begitu tabah dan penyayang, apalagi setelah ada penyuluhan tentang satwa langka di sekolah tempo hari.”

Terkenang kali pertama melihat orangutan, saat itu aku masih berumur tujuh tahun. Ramai anak-anak yang mencibir dari luar jeruji, terkadang mereka melempari dengan kacang, pisang, bahkan batu kecil padahal itu terlarang. Ada pula yang mempermainkan dengan memberikan bungkus makanan yang kosong. Seekor anak orangutan yang menatap dalam ke arahku, seolah berisyarat, namun tak mampu aku membacanya. Tiba-tiba kami seperti bertukar posisi, kini aku dibalik jeruji, memandang ibuku yang dipermainkan, tangisku menderai. Setiba di rumah aku kembali menangis, sampai-sampai uwakku khawatir dan menduga diganggu mahluk halus, ia meyarankan ibu membawaku ke ‘orang pintar’.

“Lian...,” Suara lembut Wulan menarikku dari lamunan. “Aku juga suka. Waktu keluarga kami tinggal di Kalimantan karena ayahku bertugas di sana, aku pernah melihat orangutan masuk ke pemukiman warga. Ia dikejar-kejar, diusir dengan api, dan akhirnya dibunuh. Masih banyak yang menganggapnya pengganggu, hama. Hari itu, aku terus menangis. Terlihat mengerikan.”

Kami terdiam antara sebab cerita pilu dari orangutan atau menyadari gelas kami yang telah kosong sedang dahaga belum juga dijinakkan.

“Jadi, kata kuis di sini, hewan yang pertama kali kita pilih menggambarkan bagaimana kita ingin dilihat orang lain.” Wulan menunjuk ponselnya.

Benarkah aku ingin terlihat tabah dan penyayang? Aku tidak memeriksa kebenaran kuis namun setelahnya, aku dan Wulan sering memperbincangkan orangutan. Kami merencanakan perjalanan selepas ujian nasional, menjelajah hutan dan sekaligus melihat orangutan di habitat aslinya, Taman Nasional Gunung Leuser. Tidak sampai di situ, kelak kami juga akan pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, Borneo.
****

Aku kembali memeriksa daftar barang-barang yang harus dibawa seperti yang diperintahkan instruktur.

“Mantel, perlengkapan sholat, alat tulis, gula, ...” Agaknya aku mulai jenuh memeriksa daftar, ini sudah kali ketiga. Kupikir cukup.

Besok, sebelum tengah hari aku akan pergi mengikuti pelatihan dasar organisasi kerelawanan. Bukit Lawang menjadi tujuan kami. Dengan bus, perjalanan ke sana hanya memerlukan dua jam dari kotaku, Medan. Tapi ini kali pertama aku akan ke sana, tempat ini juga merupakan daerah konservasi orangutan. Betapa sepanjang malam menjadi sulit tertidur karena terlalu bersemangat, degup jantungku jadi tak beraturan, ingin rasanya sepanjang malam bernyanyi. Inikah rasanya bertemu yang telah lama dirindu, lalu menjenguk di kampungnya sendiri? Orangutan, aku datang. Namun tidak kupingkiri, dalam rongga yang terasa penuh, ada ruang lain yang mendadak kosong. Perjalanan seperti ini pernah kurencanakan bersama Wulan tapi justru aku pergi tidak bersamanya. Aku masih ingat pesan darinya, sepekan lalu saat berkunjung ke rumahnya.

“Banyak-banyak melihat di sana, lihatkan untukku dengan kedua matamu.”  Tangan Wulan meraba-raba wajahku, dan akhirnya kedua telapak tangannya berhenti pada pipi-pipiku.

Aku menghela nafas. Lalu memegang kedua pipinya yang tirus, “Semoga.”

Yang kutahu, tidak ada agenda melihat orangutan. Di sana kami akan menginap di sebuah pondok, diberikan beberapa materi, tracking, dan melakukan bakti sosial. Aku hanya sangat berharap dapat melihatnya.
****

Setiba di Bukit Lawang, rinai hujan turun menyambut. Awalnya hanya gerimis namun semakin lama ia turun semakin rapat. Meski hujan, kami tidak dibiarkan berteduh. Para peserta langsung mengenakan mantel dan kembali berbaris untuk mendengarkan pengarahan. Aku meringis. Sebelumnya kupikir mantel dipersiapkan untuk tracking dihari terakhir sehingga mantel kuletakkan di bagian paling bawah, ia tertimpa seisi tas carrier-ku yang membukit. Ternyata untuk sampai ke pondok penginapan, kami harus berjalan sekitar dua jam. Instruktur pun menyampaikan bahwa kami akan memilih jalur yang akan melintasi sungai dua kali. Melintasi sungai? Artinya akan basah juga? Dan melihat ada peserta lain yang membiarkan dirinya basah, tak pelak aku pun mengikuti. Aku hanya menyeliuti tasku dengan bag’s cover. Selain orangutan, aku juga rindu bermandikan hujan.  

Batu Gajah, ini nama daerah pondok tempat kami menginap. Ini adalah pondok yang berada di pinggiran sungai Bahorok dan merupakan bangunan terujung sebelum perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser dengan tanah warga. Sebuah pondok kayu dua lantai yang didesain menyatu dengan alam. Tiang-tiang penyangga bangunan terbuat dari kayu dengan tetap mempertahankan bentuk liuk pohon, tentu tanpa ranting-ranting dan kulit kayunya sudah dihaluskan. Lantai pertama tak berbataskan dinding, beralaskan batuan krikil, dan ada sebuah dapur di sana, sedang lantai dua terdiri dari beberapa kamar. Peserta laki-laki tidur di lantai bawah, mereka akan mendirikan tenda, sedang perempuan di lantai atas. Penerangannya juga mengandalkan lampu petromaks dan semprong. Bicara tentang semprong, aku menjadi geli karena seringkali jelaganya tertinggal di antara bibir dan hidung. Ketika tiba di kamar, aku terpukau karena tempat tidur dan bantal-bantalnya sangat empuk dan ada beberapa selimut tebal. Rasa kasihan dan syukur berkelindan jadi satu.

Duduk sendirian di beranda kamar, kali ini menjadi cara menikmati malam. Sejenak memejamkan mata, menghirup sejuk udara, mendengarkan arus sungai Bahorok yang menderu. Tujuan utama datang ke tempat ini adalah untuk mengikuti pelatihan. Namun tidak terababaikan, hari ini aku sudah lebih dekat dengan orangutan. Kutatap sekeliling yang sama sekali tidak terang.

Wulan, aku akan banyak-banyak melihat, aku akan bawa banyak cerita untukmu, melebih banyaknya isi tas carrier-ku.
****

Pak Yancha nama pemilik pondok, tingginya rata-rata laki-laki melayu, taksirku umurnya sekitar lima puluhan tahun, kulitnya sawo matang, dan berkumis. Istrinya adalah seorang warga negara Perancis. Ketika sarapan, Pak Yancha mengenalkan Murat, anak Pak Yancha yang berkuliah di Paris dan sekarang tengah melakukan penelitian di kawasan taman nasional ini.

“Arluin, itu nama Perancis-nya, tapi kalau di sini panggil saja Murat.” Pak Yancha menambahkan saat Murat baru saja mengenalkan diri.

Andrea dipanggil Andy, terdengar biasa. Tapi Arluin jadi Murat? Aku heran. Berbeda dengan ayahnya, Murat memiliki perawakan seperti orang bule umumnya, tinggi, putih, dan rambutnya pirang kecoklatan, menurun dari ibunya - pikirku. Namun matanya coklat gelap dan seringkali tersenyum, seperti ayahnya. Dia juga sangat fasih berbahasa Indonesia.  

Satu hari kami lewati tanpa beranjak dari pondok. Mendengarkan dan berdiskusi materi tentang kerelawanan, P3K, survival, dan tentang Taman Nasional Gunung Leuser.

“Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan pelestarian alam, di dalamnya menyajikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Untuk tumbuhan ada banyak sekali jenisnya, bahkan ada jenis baru yakni Rafflesia Lawangensis. Ini artinya, sebagian besar jenis rafflesia ada di tanah air kita!” Pak Yancha bersemangat menjelaskan.

Rafflesia Lawangensis? Selama ini aku hanya pernah dengar Rafflesia Arnoldi.

“Sedang untuk satwa, diperkirakan ada seratus tujuh puluh empat spesies mamalia. Diantaranya ada satwa endemik dan bahkan sudah langka seperti badak Sumatera, harimau Sumatera, siamang, gajah Sumatera, orangutan Sumatera. Ini adalah warisan dunia yang harus disyukuri. Alam pernah menjawab akibat dari ketidakpedulian atau keserakahan manusia. Ada yang ingat kejadian banjir bandang tahun 2003? Yang tidak bersalah pun kena dampaknya.”

“Malam ini jangan bergadang! Besok jam delapan tepat kita akan memulai tracking, siapkan stamina kalian karena mungkin kita baru sampai ke pondok ini sore atau bahkan malamnya.” Instruktur mengarahkan.

“Cukupkan tidur malam ini, karena besok mata kalian akan digunakan untuk menikmati sebagian kecil eksotisme Taman Nasional Gunung Leuser, seorang peneliti asing menyebutnya sebagai the hidden paradise. Ya, ini hadiah dari Tuhan.” Pak Yancha menimpali.
****

Kami dibagi dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok ada seorang pemandu yang disebut ranger. Ranger kami bernama Pak Tum yang merupakan warga setempat. Pak Tum mengenakan kaos biru berlengan pendek dan celana yang panjangnya beberapa jari di bawah lutut sedang di pinggangnya tersemat tas kecil dan sebilah parang bersarung, sandal jepitnya juga tak luput dari perhatianku, sedang peserta – kami – kebanyakan berjaket dan bersepatu gunung, pakai topi dan ada pula berkaca-mata hitam. Terlihat kontras dengan Pak Tum tapi wajar – wajar saja, dalam benakku.

“Pak Tum, saya berjalan bersama bapak, ya?” Murat menghampiri.

Oh, offcourse, may, may.” Jawab Pak Tum.

Murat menoleh kearahku yang berada tepat di belakang Pak Tum, “Saya Murat, kamu?”

“Liana.”
****

Jalan-jalan yang sedari tadi datar kini mulai menanjak. Bukan hanya mataku yang menikmat hutan hujan tropis ini, tapi begitu pun penciumanku. Kuhirup dalam-dalam aroma embun, daun-daun yang melapuk, kulit pohon. Kubentangkan tanganku, hendak mendekap semesta.

“Di hutan, kalian juga bisa minum dari akar-akar ini, mana tahu kalian kehabisan air, kalian kan harus bertahan hidup. Airnya enggak banyaklah, tapi lumayan basah tenggorokan.” Pak Tum menebas akar pohon yang merambat. Dari bekas tebasannya menetes air. Pak Tum mendengakkan wajah dan membuka mulutnya menampung tiap tetes. Bekal air kami masih penuh, namun karena penasaran kami pun mencoba. Sedikit kelat menurutku.

“Pohon ini bernama Liana.” Murat menunjuk bekas tebasan Pak Tum kemudian tersenyum kearahku. “Ini bukan parasit, dia merambat pada pohon-pohon besar dan mendapat unsur hara dari tanah, hanya kadang ia bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari.”

“Hai, Liana,” Aku menepuk-nepuk akar liana. “Saya Liana juga, mari kita bantu lainnya untuk bertahan!”

Kami melanjutkan perjalanan. Jalanan bukan hanya menanjak, kadang terlalu miring, yang membuat kami berpegang pada akar-akar pohon, atau apa saja yang bisa membantu kami agar tak terjatuh. Sempat aku merasa, tanaman liana seperti mengulurkan tangannya untuk menggapai tanganku. Kami beristirahat sembari menunggu kelompok lain. Di tempat kami berhenti, kulihat di tanah berserakan buah yang tak kukenali namanya. Bewarna kuning tua, bentuknya seperti labu kecil tapi kulitnya lebih  licin dan mengilap, sedang bagian kelopak tangkainnya mengingatku dengan buah manggis. Aku menengadah, ternyata di atasku buah-buahnya yang hijau dan kuning bergerombol.

Pak Tum mengambil satu buah yang tergeletak, menyiramnya dengan air dalam botolnya. Aku agak tidak sepakat, bagaimana bisa Pak Tum membuang-buang persedian air. Seolah mendapati gurat wajahku, Pak Tum tersenyum.

“Kita sudah dekat mata air,” Pak Tum mengeluarkan pisau kecilnya dan membelah buah itu menjadi beberapa bagian. “Tahu ini buah apa?” Pak Tum menyodorkan. Kami menggeleng.

Aroma segar dan agak asam, kulihat Murat mematung. Hanya saja, kapan lagi kalau tidak mencoba sekarang, toh aku yakin mana mungkin Pak Tum berniat meracuni. Kami menggigit nyaris bersamaan. Mendadak air liur seperti berkumpul di sisi kanan - kiri lidah, sedang mata berkali-kali ikut terpicing menahan rasa asam yang teramat. Tak lagi ada yang mengulang gigitan.

“Ini asam glugur, kalau yang dijual di kedai biasanya yang sudah dikeringkan, untuk masak ikan asam padeh.” Pak Tum memang tidak meracuni tapi menjahili, sedang Murat tak dapat menahan tawanya.

 “Pak Tum, saya kok tidak lihat ada orangutan?” Ini sudah lima jam perjalanan dan kami telah sampai pada puncak bukit.

“Oh, kalau di daerah ini memang sekali-kali munculnya dan kita juga enggak ke feeding station, tapi jika beruntung kita bisa jumpa juga.”
****

Sejenak melepas penat, kami kembali. Kini jalanan bukan hanya menurun tapi juga licin karena gerimis. Sarung tangan yang kukenakan mulai basah tapi aku tetap memakainya, karena bisa jadi aku akan menggenggam tumbuhan berduri atau pun lalang. Kami berjalan berbaris melewati jalan setapak yang dipenuhi belukar, aku mulai kelelahan dan jalanku melamban. Tiba-tiba aku tersadar, aku tidak lagi melihat teman-teman di depanku sedang kelompok berikutnya juga tidak terlihat di belakangku. Aku mempercepat langkah menyusuri jalan setapak – yang benar-benar setapak - dan hanya mengikuti bekas pijakan.

“AUUUUK, AAAAUUUK!”

Suara nyaring yang mengejutkan, orangutan? Aku memang sangat ingin bertemu, tapi kini belum dapat melihat teman-temanku, aku sendirian.

“AUUUUK, AAAAUUUK!”

Suara yang persis sama tapi bukan suara yang sama, seperti tengah bersahutan. Aku gugup, penasaran, tapi juga takut. Aku berusaha kembali berpikir yang baik-baik sambil merapal doa. Yang penting aku tidak mengganggu, sambil berlari kecil, aku menengadah pada rimbun pohon. Tehnik berjalan di jalan menurun yang sempat diajarkan tidak lagi kuperhatikan sebab jalanan licin dan aku terperosot, rasanya seperti bermain perosotan saat masih di taman kanak-kanak. Akhirnya aku dapat melihat teman-temanku. Kini kami tiba di pinggir sungai dengan tubuh berlumpur.

“AUUUUK, AAAAUUUK!”

Aku menoleh ke sumber suara, “Pak Tum?”

“Ini kode sesama ranger.”
****

Ini hari ke-empat, hari terakhir, sekitar jam sepuluh kami akan meninggalkan pondok, tidak ada kegiatan apa pun pagi ini, selain sarapan dan berkemas. Sedang siang nanti, kami akan berbakti sosial pada masyarakat Bukit Lawang – di tempat pertama kali tiba. Untuk sampai ke sana, kami tidak lagi tracking tapi akan ber-rafting. Ketika yang lain sibuk berkemas, aku menyendiri di tepian sungai, mengamati riaknya dan mencoba membaca kembali untai waktu yang kulalui.

“Liana, kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu.”

“Murat, ada seorang teman yang menunggu ceritaku tentang orangutan.”

“Lain waktu bawa saja temanmu kemari. Jika masih di sini, saya akan menemani kalian.” Murat memberikan kartu namanya. “Atau catat saja nomor ponsel Pak Tum.”

 “Murat, apa kamu menyukai tempat ini?”

“Aku bukan suka melainkan cinta. Tempat ini melindungi kehidupan, memberikan kisah dan kesan mendalam. Ketika kita mencintai sesuatu, kita ingin dia bertahan lebih lama, kan?”

Mata ini telah melihat, hati ini telah terpaut, aku juga ingin lebih banyak orang merasakan yang sama, agar siapa saja mengerti konsekuensi perbuatan terhadap hutan, agar siapa saja bertanggung jawab, bersyukur.
****

“Seru sekali!” Wulan menggenggam tanganku erat.

Aku bercerita banyak tentang perjalanan yang baru kulalui. Tiap kali aku ingin menyudahi, dia memintaku terus bercerita. Kadang aku merasa tidak sungkan karena kutahu Wulan sebenarnya juga ingin ke tempat itu. Kecelakaan mobil yang dialami Wulan selepas SMA berakibat fatal pada saraf optiknya yang menyebabkan ia tak dapat melihat. Beberapa bulan paska kecelakaan, ia sama sekali tidak ingin dijumpai tapi perlahan ia kembali percaya diri seperti dulu.

“Kamu membawa koran apa?” Tangannya meraih koran yang berada di sampingku.

“Oh, di sini ada ulasan perjalanan kemarin.” Aku coba membalik-balikkan lembar koran yang kubeli pagi tadi dan belum sempat kubaca. Aku terhenyak, menemukan satu judul berita yang membuatku kaku, hatiku ngilu. Aku seolah berada dalam kobaran api. Melihat air mata tumpah dari sepasang mata yang polos, menutup perlahan, mengerang, lalu membisu. “Kalimantan ...”

“Kenapa?”

“Emm, Kalimantan. Maksudku orangutan Sumatera dan Kalimantan ada perbedaan, kan? Kita harus ke sana pula.” Berita itu, aku belum sanggup mengatakannya.

Wulan tersenyum.

DEMI PAMER DI MEDIA SOSIAL, SEORANG PRIA PARUH BAYA MEMBAKAR ORANGUTAN
**** 

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey" Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Ririn Anindya

......

1 komentar: