“Coba ibu tanya Meta, kenapa ibu seriiiing kali merepet.”
Saran anakku yang berusia 5 tahun 8 bulan itu. Ia terlihat kesal. Ada 2 pertanyaan yang muncul di benakku atas sarannya.
- Mungkin aku belum se-emotional mature Nikita Willy atau para praktisi gentle parenting – tentu. Tapi rasanya, aku ga sering merepetlah, pernah tapi tidak sering, atau ya mungkin sering namun tidak seriiiiing kali. Kok bisa dia berkesimpulan aku hobi merepet?
- Alih alih memintaku introspeksi diri, gen alpha satu ini lebih memintaku bertanya pada Meta. Meta, heyyy. Tahu darimana dia Meta? Padahal dia sendiri punya screentime hanya 20 samapai 30 menit perhari.
Ada yang senasib pernah dibilang 'suka' merepet? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "merepet" berarti berbicara yang banyak dan tidak penting atau bahkan bisa menjemukan. Apakah repet itu serapan dari kata repeat? Dan acapkali merepet ini juga mengacu pada marah marah atau mengomel.
Jadi waktu itu, awal mulanya, dia minta tolong bapaknya menggambar pesawat. Daripada menyiapkan bahan gambar seperti kertas dan pensil, Nua malah meloyor, main ke ruangan lain. Aku ingatkanlah dia,
“Kak, ambil itu kertasnya di atas laci. Kan kakak minta bapak gambarkan, masa’ bapak malah kakak tinggal.”
Dia malah memintaku yang mengambilkannya, padahal saat itu aku sedang melipat pakaian. Kekeuh dong akunya agar dia ambil sendiri. Akhirnya, dia ngambek.
“Ibu, Nua. Sini kalian berdua. Duduk, sini. Ada apa? Bapak mau dengar dari Nua dan ibu.” Akhirnya suamiku mencoba menengahi. Bagi orangtua atau orang dewasa, mungkin ini terlihat sepele. Tapi tidak bagi anak anak, jadi kami menanggapi ‘kekecewaan’ Nua dengan duduk bersama, cerita, dan diskusi.
Keluarlah kata kata itu, yang intinya dia capek karena aku merepet. Aku merasa difitnah, wkwkw. Tapi daripada membela diri atau menolak perasaannya. Kuingat ingatlah apa yang kurepetkan sehari ini? Perasaanku, enggak ada aku marah marah. Jadi kucobalah mengevaluasi diri. Ada beberapa sebab anak-anak sering menilai ibunya sering merepet atau mengomel, di antaranya karena:
- Memerintah dan mengingatkan berulang yang membuat mereka jenuh. Bukankah ibu ibu pada umumnya sering mengingatkan atau memerintah anaknya untuk melakukan sesuatu? Misalnya, mengingatkan mereka meletakkan barang kembali ke tempatnya. Mengingatkan agar makan dengan baik, mengerjakan tugas, dan sebagainya. Mengingatkan atau memberi perintah berulang itu ternyata dapat membuat mereka bosan dan dianggap sebagai merepet atau mengomel.
- Anak-anak mungkin merasa bahwa ibu mereka terlalu banyak campur tangan dalam urusan mereka karena keterlibatan emosi yang kuat antara ibu dan anak anak.
- Anak-anak merasa bahwa ibu mereka terlalu banyak mengontrol dan tidak memberikan kebebasan yang cukup saat memberikan larangan – larangan tertentu.
- Perkembangan anak: Anak-anak sedang dalam proses perkembangan dan belajar untuk mandiri. Mereka mungkin merasa bahwa ibu mereka tidak memberikan kepercayaan yang cukup.
- Menolak atau tidak menuruti permintaan anak dan menjelaskan penolakan itu bahkan bisa dianggap repetan.
- Dan sebab keenam adalah, memang ibunya sering mengomel karena berbagai sebab di antaranya lelah secara fisik ataupun mental.
Jadi sebenarnya, bisa jadi kita tidak merasa merepet atau mengomel namun kalimat nasehat, pengingat, perintah, atau larangan dianggap sebagai omelan. Ya, atau memang kita sering mengomel.
Namun, perlu diingat bahwa ibu yang "merepet" seringkali melakukan hal itu karena mereka peduli dan ingin anak-anak mereka tumbuh dan hidup dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk memahami motivasi di balik perilaku ibu dan mendiskusikannya guna menemukan keseimbangan.
Sehingga saat itu yang kujelaskan ke Nua ada tiga poin:
- Bahwasannya, ada kalanya ibu tidak marah, hanya mengingatkan, mengajarkan, namun Nua anggap itu sebagai omelan. Jadi marah dan sedang menasehati adalah hal berbeda.
- Adakalanya, kesabaran ibu memang menipis. Saat itu terjadi, mungkin ibu perlu sementara waktu untuk sendiri.
- Aku menjelaskan padanya, tidak semua perilaku atau permintaan untuk dituruti atau dibenarkan. Orangtua bertanggung jawab mendidik anaknya. Namun, meski ibu tidak menuruti permintaan Nua, dia selalu sangat berharga, dan aku sangat menyayanginya. Dan kita bisa mendiskusikannya.
Yang Nua minta dari aku saat itu adalah:
- Bicara dengan nada lebih lembut lagi, dan pelan pelan, dan jangan sering mengulangi perintah itu itu saja.
- Gak ada, saat itu dia cuman minta satu itu aja.
Beberapa hari setelah itu, aku sering validasi ke dia, "Ibu enggak marah marah, kan?". Dia mengangguk. Tapi itu tidak selalu, citra itu tak serta merta hilang begitu saja. Sebenarnya bukan mudah jadi orangtua, apalagi di Medan ini, untuk enggak merepet kan? Apalagi terkadang ngomong panjang kayak podcast udah jadi kebiasaan, tapi begitu lah, anak berproses, orangtua pun begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar