Silent Treatment Lebih Tidak Aku Sukai Dibanding St*lla Jeruk

"Kenapa dulu saat marah sama Ririn, ibu selalu diam, bahkan bisa sampai berhari hari? Tapi kok sama abang dan adek, enggak gitu?"

Sore itu selepas hujan, aku dan ibu mengobrol di beranda rumah sambil menikmati ubi goreng yang masih hangat. Sejak bapak berpulang dan aku duduk di bangku kuliah, kami mulai lebih saling terbuka. Mungkin, anak perempuan satu satunya ini sudah tampak dewasa dan bisa diajak 'bicara'.

Berapa tahun belakangan, aku baru tahu bahwa perlakuan mendiamkan itu dikenal dengan silent treatment. Perilaku ini berupa pengabaian dengan tujuan untuk menghindari konflik, menghukum, atau 'mengendalikan' orang tersebut.
Silent treatment dicirikan lewat berbagai bentuk seperti tidak melakukan kontak  mata, tidak mengacuhkan, menghindari semua kontak, dan tidak menanggapi pertanyaan atau komentar yang ditujukan (Williams dkk., 1998).

When Silent Treatment Hits Me

Adonan aja didiamkan ada waktunya, masa' manusia enggak?
Sumber gambar: Kumparan. 

Berkisar masa SMP hingga SMA, tiap kali mengalaminya, aku bahkan enggak pernah yakin salah apa dan harus bagaimana. Pun kalau itu terjadi, acapkali aku sampai enggak berani keluar kamar, hingga lebih memilih menahan lapar. Lalu tiba tiba saja badai mereda, layaknya tak pernah terjadi apa apa. Padahal kejadian itu belum aku pahami, emosi itu belum mampu aku regulasi.

Mungkin masa itu, ibu sering kelelahan. Delapan puluh kilometer, ia lalui untuk bekerja setiap hari - kecuali hari libur. Sepulangnya, ia masih harus mengurus suami yang sudah lama sakit dan empat orang anak yang masih bersekolah. Mungkin itu, yang membuat ibu kekurangan waktu untuk mencerna emosi. Namun sekarang, setelah tubian proses, kami bisa lebih saling menghargai dan berkomunikasi lebih baik, alhamdulillah. 

Harus Berhenti di Aku



Sedikit pengetahuan tentang psikologi atau pengasuhan, tidak menjadikanku lebih baik dan layak menghakimi ia yang sangat berjasa dan kuhormati. Bukan itu maksudku menuliskan ini. Aku pun sempat menjadi pelaku dan bilang ke diri sendiri,
"Please, harus berhenti di sini. Cukup hutan yang lestari, jangan perilaku ini."

Aku hanya ingin sharing ternyata efeknya silent treatment yang tidak berchandyaaa dan ...

ternyata diam tak selamanya emas, terkadang ia bara yang menjadikan luka, menganga. 
 


Berbeda dengan Diam Meregulasi Emosi

Diam tidak selalu berarti silent treatment. Adakalanya diam karena butuh waktu menyadari dan menerima apa yang kita rasakan, lalu menentukan langkah merespon perasaan tersebut. Ini mengingatkanku dengan podcast seorang psikiater, dr. Jiemi Ardian, yang pernah kuikuti di sebuah aplikasi,

Kekeliruan mengenali emosi dapat berdampak pada kekeliruan merespon emosi itu sendiri.

Sedangkan pada silent treatment, kita tidak tahu di mana ujung diam dan pengabaian itu. Gelap. "Seperti mati lampu." Kata King Nazar.

Mengapa Seseorang Melakukannya?

"Kamu anak perempuan, nanti kalau ibu marah marah, kamu sakit hati. Anak perempuan biasanya lebih sensitif." Ibu menjelaskan.  
But it hurts me ...

 

Ketika grogi mengungkapkan rasa sayangku secara lisan, kutulis satu cerpen untuk ibu.


Ada beberapa sebab seseorang melakukan perilaku ini di antaranya:

1. Menghindari konflik.

2. Tidak dapat mengomunikasikan perasaan.

3. Memanipulasi, menghukum, atau melukai.

Menurutku, dulu ibu melakukannya padaku untuk menghindari konflik tanpa menyadari bahwa itu sangat membingungkan dan membuatku sedih, juga kelaparan

Efek dari Silent Treatment

Perlakuan mendiamkan ini dapat membuat seseorang memiliki persepsi buruk terhadap dirinya, 'mahir' overthinking, dan merasa tidak disayangi atau berharga. Dalam penelitian yang dilakukan Putri & Ariana (2022) menunjukkan bahwa apabila silent treatment meningkat maka kecemasan juga akan meningkat.

 Menghadapi Perilaku Silent Treatment

Kalau yang melakukan bukan orang terdekat atau tidak bertemu sehari hari, rasanya bisa saja bersikap bodo amat.  Tapi kalau keluarga dalam satu atap? Agaknya kita perlu mencari solusi. Ada beberapa hal yang bisa dijalani untuk memperbaiki kondisi ini, di antaranya: 

  1. Memberi waktu untuk mengelola emosi dan tidak memaksa untuk bicara di saat itu juga.
  2. Membuat aturan. Contohnya, sekiranya kesalahpahaman, ketersinggungan, atau kemarahan terjadi maka perlu melakukan apa? Misal, harus saling terbuka atau membahasnya sebelum tidur agar tidak membiarkannya berlarut larut.
  3. Tidak membuat prasangka sendiri.
  4. Menyadari bahwa kita tidak bisa mengendalikan semua hal, tapi bisa mengendalikan diri sendiri. Seperti berusaha untuk tidak membalas silent treatment dengan hal yang sama.
  5. Mencoba memahami akar masalah. 

Perilaku ini termasuk perilaku kekerasan secara emosional maka jika membutuhkan bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater, jangan ragu untuk itu. Apakah kamu pernah mengalami hal serupa? Atau mungkin ada perilaku lain yang tidak kamu suka?



Referensi:

Williams, K. D., Shore, W. J., & Grahe, J. E. (1998). The Silent Treatment: Perceptions of Its Behaviors and Associated Feelings. 1(2), 117–141.https://doi.org/10.1177/1368430298012002

Putri, C.N. & Ariana, A.d.(2022).Kecemasan Diri Dewasa Awal yang Menjalani Hubungan Romantis saat Mendapat Perilaku Silent Treatment. Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental. 2(1), 163-171.http://e-journal.unair.ac.id/index.php/BRPKM

Ririn Anindya

......

3 komentar:

  1. beda generasi beda treatmentnya. Kalau gen alpha di silent treatment, yang ada mereka ga tau lagi di'diem'in. banyak yg malah jdi bodo amat dgn perasaan ortunya. Memang komunikasi langsung dua arah tetap lebih tepat biar ga berasumsi macem-macem. hehe

    BalasHapus
  2. Kalau dulu mungkin masih berlaku dibuat begini ya. Saat coba mendiamkan ke anak sekarang malah enggak sedikit yang justru cuek dan yauda malah diem aja juga seperti acuh. Setuju banget hal-hal begini tentu harus disesuaikan dengan masanya. Dan jika tidak bisa dilanjutkan maka jangan sampai dilestarikan.

    BalasHapus
  3. kelaperan karena gak keluar kamar ya

    BalasHapus