(Yang) Kembali

“Lima belas menit lagi, aku sampai rumahmu.” Aku bicara singkat, mengingat pulsa mulai sekarat.

“Masih nge-blow di salon, setengah jam lagi, OK?”

Ah, Roya masih belum berubah. Kalau mau datang ke acara apa saja, pasti nyalon. Aku tidak coba mendebatnya, hemat pulsa.

Wajar saja Roya ingin tampil maksimal di acara reuni SMA. Ada cinta lamanya yang belum kunjung kelar di sana. Aku sempat heran dengan acara reuni ini, sebab baru tahun lalu kami tamat SMA dan sudah berkumpul beberapa kali: kami berkumpul di pernikahan Reni – teman sekelas, berkumpul di acara keberangkatan haji wali kelas kami dulu, dan buka puasa bersama yang baru saja bulan lalu. Heran tapi tidak protes, dan ikut saja. Kuakui masih sering rindu kemeriahan masa – masa SMA.

Aku bercermin sekali lagi sebelum berangkat. Ini sudah ke-lima kalinya bercermin. Tidak ada yang berubah. Namun tiba-tiba teringat, sudah banyak fotoku menggunakan kaos rajut lengan panjang bewarna biru ini, kaos favorit. Kalau kumpul bareng teman, pasti nanti akan foto-foto.

Ah, dasar cewek! Emang suka rempong.’

Meski merutuki diri, langkahku tetap mengarah ke kamar, tepatnya menuju lemari pakaian.

Kulirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua siang, harusnya aku sudah sampai di Cafe Fufu, kafe depan sekolah, tempat kami melangsungkan reuni. Mana lagi masih harus menjemput Roya. Kututup lemari, tidak jadi ganti pakaian. Bergegas menyambar kunci motor, lalu menyalami ibu.

“Jam lima sore harus sudah sampai di rumah, ya! Nanti malam kita mau ke rumah Pakde.” Ibu mengingatkan.

Aku memang sering lupa waktu jika sedang berkumpul dengan teman – teman.
*****

“Roy, kamu mau reuni atau peresmian perusahaan?” Aku terkesima melihat gaun dan make-up-nya. Yang ditanya hanya senyum-senyum.

“Pakai ini!” Aku menyodorkan helm.

“Kita lewat jalan pintas saja. Kan aman enggak ada polisi, enggak bakal ada yang tilang. Kalau pakai helm, rambutku...”

“Itu kalau enggak ada polisi, kalau tiba-tiba ada? Lagian, jauh – dekat aspal keras, loh!”

Teringat kecelakaan sewaktu SMA, meski sudah bisa mengendarai motor, orang tua belum seutuhnya mengizinkanku membawa motor apalagi keluar komplek rumah, dan tentu saat itu belum punya SIM. Aku keras kepala. Diam-diam kuambil kunci motor, lalu pergi jalan – jalan sore ke luar komplek sendirian. Tak lupa kupakai helm, bukan karena sadar keamanan, tapi helm abangku cukup keren, helm dengan stiker Cyborg Kuro Chan.

Di jalanan sepi, kupacu motor seberapa cepat aku berani. Tiba-tiba roda tak bergerak, aku tejatuh. Mobil di belakangku mengerem mendadak, lalu mobil itu ditabrak angkot di belakangnya. Betapa ketakutan jadinya. Lebih dari keamananku, aku sangat khawatir jika ada orang lain terluka. Setelah diperiksa, ternyata penyebabnya adalah rantai motor yang kurang perawatan, kendor, dan lama tidak diberi oli. Rantai motor mendadak keluar dari gear dan ada bagian rantai yang terselip. Tidak ada korban jiwa atau pun terluka, tapi penyok kedua mobil tak terelakkan. Tetap saja, habislah aku.

Benar saja, aku pasrah menerima kemarahan para pengemudi lainnya, yang akhirnya mencoba memaklumi keadaan – dan tentu kami menanggung biaya perbaikan kerusakan mobil mereka – maksudku bukan kami, tapi orang tuaku. Ditambah lagi tak kurang dari sepekan, ibu terus mengungkit-ungkit kesalahan di tiap kesempatan. Belum lagi, uwak tukang kusuk yang sembari mengusuk, ia menasihati, tepatnya mengomel tanpa putus. Jangan tanya sakitnya tulang – belulang seperti apa, meski tidak ada yang patah, namun tiap sisi terasa nyeri.

Roya cemberut tapi ia tidak bisa menolak permintaan, apalagi jika aku sudah menatapnya tajam tanpa kata. Akhirnya ia pakai helm yang kusodorkan tadi.

“Roya, senyumlah. Jangan gara-gara helm merengut gitu. Mana lebih penting, yang di dalam kepalamu atau rambutmu yang bisa dirapikan nanti?”

“Emangnya kita bakalan jatuh, apa?”
***

Cafe Fufu, sampai detik ini aku tidak pernah mencari tahu mengapa kafe di depan sekolah SMA-ku dinamakan Fufu. Yang kuingat pasti, kafe ini pernah digerebek guru piket karena ada yang membolos sekolah dan malah melarikan diri kemari. Memang banyak ‘kajaiban’ di muka bumi ini, contohnya para siswa yang bolos sekolah malah pergi ke kafe yang letaknya beberapa meter di hadapan sekolah. Namun sejak saat itu, pemilik dengan tegas melarang siswa datang ke kafe di jam sekolah.

Bagiku, konsep Cafe Fufu kini jauh lebih menyenangkan. Selain menyajikan beberapa permainan seperti monopoli, ular tangga, congkak, dan kartu berisi teka – teki. Kafe ini juga dipenuhi buku-buku, mulai dari komik sampai ensikopedi dan biografi. Sayangnya, buku-buku hanya boleh baca di tempat.

“Manajer kami bilang, memang akan ada rencana buat kafe ini jadi sekaligus taman baca. Jadi, buku-bukunya boleh dipinjam, tapi khusus member.” Jawab Mbak waitress saat aku mencoba bernegosiasi meminjam buku untuk dibawa pulang. Negosiasi gagal.

Melihat buku – buku yang terpajang apik, hampir lupa dengan tujuan utama datang kemari: reuni.
*****

Agus Arianda, biasa kami memanggilnya dengan Gusar karena ada dua orang bernama Agus di kelas kami. Gusar adalah gebetan Roya saat di kelas dua belas, dan masih menjadi gebetan sampai sesaat sebelum mereka bertemu di acara reuni ini.

Beberapa menit lalu, Roya harus menerima kenyataan bahwa Gusar mengajak pacar barunya ke acara reuni, teman satu kampus Gusar, begitu keterangan yang kudapat. Rona wajah Roya berubah, ia bahkan tidak mencoba merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena helm. Ia jadi lebih banyak       membisu. Sesekali Roya melirik Gusar yang sedang bercanda dengan pacarnya. Dan aku memerhatikan pemandangan ini dari salah satu sudut ruangan. Aku mengerti, seperti biasa, bahwa jika tiba saat-saat seperti ini, maka sebaiknya sejenak membiarkan Roya sendiri. Ini bukan yang pertama kali.

“Roya, itu kopimu entar dingin. Coba deh kuenya, enak!” Kuhampiri Roya dan berusaha  mengalihkan perhatiannya.

“Ambil saja.” Jawabnya datar dengan tatapan kosong.

Cinta anak remaja, antara pengorbanan dan kebodohan.’ Batinku. Aku mendadak tua dan kehilangan empati.
*****

Beginilah Roya, sahabatku. Mudah patah hati tapi juga mudah move on. Satu jam lalu, ia adalah orang yang paling sunyi dan kelabu. Tapi sekarang, dialah yang paling ribut. Kini ia sedang berada di atas angin. Ia memimpin untuk permainan ular tangga.

“Roy, udah jam lima. Aku mesti pulang. Udah mendung, nih!” Aku setengah mendesak.

“Bentar, bentar. Jangan pulang duluan!” 

Harusnya jam lima sore aku sudah sampai rumah, tapi yang ada jam setengah enam sore baru beranjak dari Cafe Fufu. Tanpa kuminta, Roya sudah memakai helm.  

“Udah rintik. Kita terobos? Aku takut kena marah ibu. Entah pun ibuku sudah merepet di rumah.”

“Ya, terobos. Masih rintik kecil. Kan jalan pulang, enggak apa basah-basah. Enggak ada bawa notebook. HP kita taruh di bagasi motor saja.” Roya menyarankan.

“Roy, dirimu pakai celana leging juga, kan? Duduknya enggak usah menyamping kayak tadi, boleh? Agak-agak duduk macho, mungkin kita bakal ngebut sedikit. Kejar waktu.”
*****

Awalnya hanya rintik, tapi tak lama, hujan menderas. Meski tanpa mantel, aku dan Roya memutuskan tidak berteduh. Beberapa ruas jalan tergenang. Kami sudah basah kuyup. Sempat terlihat di pinggir jalan, beberapa pengendara yang berteduh menatap kami.

Beberapa kali kusalip mobil yang berjalan pelan. Benar – benar menguji kesabaran apalagi gigil mulai merasuk tubuh, sedang pandanganku jadi sedikit buram diterpa hujan.

Kali ini, truk pengangkut pasir di depanku sulit sekali didahului. Berjalan sangat lambat. Bisa jadi agar tidak terjadi cipratan air dan mengenai orang-orang di pinggir jalan, tapi juga bisa jadi karena jalan memang tidak terlalu lebar. Setiap kali hendak menyalip, ada saja kendaraan dari arah berlawanan.

Kosong!

Jalanan di sisi kanan kosong. Kupacu motor lebih cepat untuk mendahului. Mendadak motor kehilangan keseimbangan, ternyata melintas di jalan berlobang yang tergenang air. Jelas aku tidak melihat lobang tersebut. Hujan pun masih deras.

Aku terjatuh, kepalaku membentur aspal. Terasa benar bahwa kepalaku selamat karena tebalnya busa helm. Aku terguling-guling. Sekilas kulihat sinar kendaraan. Pasti lampu truk yang kudahului tadi.

Matilah aku!

Roya!

Ya, Tuhan...

Tubuhku tak lagi berguling, terhenti di pinggir jalan. Aku langsung duduk, kulihat motorku tak jauh dariku, sedang truk sudah jauh. Tak kudapati Roya.

Aku mengedar pandang mencari – carinya. Perasaan ini lebih menakutkan dari pada saat pertama kali jatuh dulu. Sekarang aku tak peduli dengan kemarahan orang-orang, uwak tukang kusuk, atau bahkan saat ini tak masalah jika ibu mengomel padaku sepekan atau setahun. Biarlah semua itu, asal sahabatku selamat.

Akhirnya kutemukan ia berada sekitar sepuluh meter dariku, di sisi jalan yang sama. Entah bagaimana algoritmanya, kami berhamburan di tempat berbeda. Sepertinya, kami jatuh ke sisi kanan jalan, sedang truk ada di sisi kiri, dan sisi kanan masih kosong dengan kendaraan.

Roya bahkan masih bisa berlari ke arahku. Kami bertatapan, mencoba membaca keadaan.

*****

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Profil Penulis:
Ririn Anindya Putri. Lahir dan besar di Medan. Bergiat di FLP Sumatera Utara. Seorang pengendara motor yang berhenti sebelum garis putih jika lampu lalu-lintas bewarna merah.








Ririn Anindya

......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar