Ketukan Tanya (tentang) Bahagia



Bahagia itu, sejatinya bagaimana? Bahagia itu – sebenarnya apa? Tiap kali aku bertanya tentang kebahagiaan seringkali ia dibayangi dengan apa yang kunamakan kesenangan. Lalu aku menimbang-nimbang, beda kebahagiaan dan kesenangan. Maka, terlintas tentang syukur dan jangka waktu. Kesenangan belum tentu membawa pada kebahagiaan dan biasanya singkat, sedang kebahagiaan selalu menyenangkan atau kadang kebahagiaan adalah rasa yang tak acuh apakah ada kesenangan di dalamnya atau tidak, dan ia lebih bertahan lama. Seperti itu, kah?

Seringkali aku mendengar bahwa bahagia itu sederhana, namun di lain pihak, seringkali pula lebih mudah memperumit sesuatu dari pada menyederhanakannya. Jadi, seringkali sederhana lebih rumit dari pada rumit itu sendiri. Bicara apa aku? Untuk hal ini, sementara titik dulu. Titik yang sementara itu artinya koma, kan? Ah!

Apakah tiap orang punya definisi bahagianya sendiri-sendiri? Apakah cara membahagiakan tiap orang itu berbeda-beda? Apakah diri ini sudah bahagia? Jika belum, bisakah diri yang belum bahagia membahagiakan orang lain? Jika kita telah membuat seseorang bahagia, apakah itu akan bertahan selamanya atau tidak? Apakah kebahagiaan itu bisa terhapus karena hal lain?

Yang aku pahami, tidak, mungkin aku belum benar-benar paham, hanya saja aku meyakini – tapi bagaimana aku meyakini yang tak kupahami? 

Dari sesuatu yang harus dan telah ridha  kuimani, ada kebahagiaan yang kekal, setelah kematian. Disediakan bagi orang yang dirahmati dan yang menjemputnya. Namun, jika tidak bahagia di dunia bisa kah bahagia di akhirat? Tidak kah rasa syukur akan membawa pada kebahagiaan di dunia – meski ia dalam penyiksaan? Jika ia selalu merasa tersiksa dan tidak pernah bahagia, apakah itu artinya ia tidak pernah bersyukur, dan setelah itu apakah akan ada kebahagiaan di akhirat bagi yang tidak pernah bersyukur?

Kadang-kadang bahagia, bersyukur, kadang tak tahu diri. Bahagia di satu hal, dan bersedih untuk hal lain lagi. Apakah orang-orang yang berhasil mendapatkan kebahagiaan, jiwanya pernah labil? Bersedih bukan berarti tidak bersyukur, kan? Karena Nabi – yang pandai bersyukur – pun pernah bersedih. Hanya saja, ketidaksyukuran biasanya membawa kesedihan.

Apakah setiap orang punya orang yang ingin dibahagiakan? Apakah mereka pernah bertanya bahagia seperti apa yang diingnkan, diperlukan, atau bagaimana cara membuat orang-orang yang ingin dibahagiakan, berbahagia? Apakah mereka pernah takut menanyakan, ‘apakah kamu bahagia’?

Seberapa banyak orang yang punya rencana membahagiakan orang lain? Bagaiman caranya? Seberapa banyak orang yang sudah tahu cara berbahagia? Seberapa banyak orang yang lupa caranya berbahagia?

Mungkin akan ada yang menjawab atau menyimpulkan dengan pasti, mungkin masih ada yang menerka-nerka, dan mungkin ada yang mengembalikan pada relativitas. Tapi apa pun itu, izinkanlah jiwa merasakan, menjemput kebahagiaan. Tanpa menindas orang lain. Karena selama hidup, tidak tertutup kemungkinan akan ada tampak, orang-orang yang demi ‘kebahagiannya’ merampas hak-hak dan menindas orang lain, mungkin itu yang dinamakan ‘berbahagia’ di atas penderitaan orang lain. Tapi apa ada kebahagiaan seperti itu? Apa itu bisa disebut kebahagiaan?

Di muka bumi ini pun, ada orang-orang yang pernah atau masih berpikir telah kehilangan kesempatan membahagiakan orang yang penting baginya, tak jarang ia menangisi hal itu. Ketika ada orang-orang yang susah move on karena putus dengan pacar, ada orang-orang yang berusaha move on dari penyesalan seperti ini. Seolah aku kenal dengan orang seperti ini, seolah aku mengenal diriku.

Pada suatu kesempatan, aku pernah mengobrol dengan seorang dosen, dosen Analisis Vektor. Panjang lebar kami bicara, dan berujung pada, “Kita dilahirkan udah buat sakit ibu kita, udah buat bidan bekerja keras, katakanlah itu konsekuensi, tapi itu tetap buat repot.” Ia mengetuk-ngetuk meja, lalu dengan jarinya seakan menarik sebuah garis dan berhenti.” Nanti, pas kita meninggal, kita gak bisa mandi sendiri, gak bisa menggotong atau menguburkan mayat sendiri. Katakanlah enggak minta dan itu memang fardhu kifayahnya orang yang masih hidup. Lah, tapi itu kan tetap buat repot, toh? Lahir buat repot, meninggal pun begitu. Jadi kapan kita mau bahagiakan orang lain?” Aku diam, karena dugaku ia akan menjawabnya sendiri, ternyata benar.

“Ya, kita bahagiakan orang lain, pas hidup.” Sambil menunjuk garis yang tak kasat mata, yang ia bentuk tadi, seakan menunjuk pada perjalanan kehidupan.

Bagaiman caranya? Apa aku bisa? Apa aku perlu bertanya untuk memastikan – kebahagiaan yang bagaimana? Jika aku tidak punya kesempatan bertanya? Mungkin aku memang perlu bertanya, tapi hanya dengan bertanya terus, apa yang aku rubah?

Alhamdulillah, sebab memang kesengajaan Sang Pencipta, ada manusia yang pernah terlahir di bumi. Sama seperti mahluk bumi lainnya, ia makan, minum, istirahat. Ia hadir berabad-abad lalu, ia telah menghadirkan keteladanan, yang setelah kepergiannya, tetap tak sedikit yang bahagia karenanya. Setidaknya, kurasa – aku pernah bahagia karenanya. Tidak dapat seperti ia, tapi dapat mengambil pengajarannya. Allahumma shali wassalam wabarik alaik.

Kututup segala ocehan di atas yang nyaris tanpa makna - karena setidaknya masih ada kata-kata yang teramat bermakna: "Alhamdulillah", "Sang Pencipta",  "Allahumma shali wassalam wabarik alaik". Kututup dengan sebuah kutipan dari sebuah majalah,

"Dalam ketidakpastian, kita dididik untuk menjadi yakin dan menguatkan ikhtiar, hingga menjadi pribadi yang pantas ditolong Allah. Menjadi pribadi yang layak dibenturkan Allah pada takdirNya yang indah.
(Ibnu Syahri Ramadhan) 


#NulisRandom2015 

Ririn Anindya

......

2 komentar:

  1. menyoal konsep bahagia tentulah tak sama pada tiap jiwa. semua memiliki pemahaman bahagianya sendiri. alangkah bijaknya, jika (belum) mampu membahagiakan orang lain, bahagiakanlah dulu diri sendiri. jika diri sendiri belum bahagia, apakah 'bahagia' yang diberi pada orang lain mampu disebut sebagai bahagia?

    ps : ada berapa banyak kata "bahagia" yang tertulis dalam tulisan ini? :P
    dan akhirul kata, mari sama-sama menjemput bahagia ala kita. bahagia yang telah Allah tetapkan dalam rancangan terbaikNya untuk kita, meski dalam pencapaian bahagia itu akan banyak luka, onak, tangis, serta tawa yang menyertainya. semoga kita sabar menjalani itu semua hingga pada akhirnya kita dapat memaknai kata bahagia yang (mungkin) sederhana.

    *INI GUE NULIS APA!!!!* :D

    BalasHapus
  2. entahlah aku pun gak tau arti bahagia itu
    tapi ah sudahlah karena sudah terbaca alhasil komennya tahapahapa

    satu poin yang aku coba simpulkan walaupun tak tersimpul
    Nabi saja yang pandai bersyukur selalu dirudung sedih, apakah bahagia adalah mengerti arti bersedih lalu bisa memaknai bahagia itu sendiri
    ah sudahlah

    BalasHapus