Sticknote #1

Kita sama-sama Muslim sehingga tahu persis tidak boleh 'bermain' sihir. Tapi tiap kali aku merasa malas dan tercenung pada meja belajarku, kehilangan fokus, lalu kutegakkan kepala, seketika terlihat tulisan di sticknote yang terekat pada dinding, tepat di depan mataku; ada namamu. Seperti sihir saja, tiba-tiba wujudmu keluar dari selembar kertas itu dengan menggenggam sebuah sendok di tangan kanan. Lalu . . . ah, tidak enak diceritakan. Kamu memukulkan sendok itu ke kepalaku – pukulan manja.

“Hampa ni, ai often cuma boleh tidoq two hours jer, sebab assigment la, submission, presentation, drawing, and macam la. So, apa buat, hah? Belajar? Karya? Tadak. Itu pun pekan lalu tak pergi usrah? Focus, sejenak berehat itu perlu, satu dua kali okay hilang focus tapi jangan buat habbit macam tu. ”

Selepas mengomel, kamu menghilang. Aku mengusap-usap kepalaku, berharap ada sisa nasi atau remah makanan atau apa saja yang sebelumnya ada di sendokmu jatuh di kepalaku, sayang sekali tidak ada bahkan rasa pukulan kecil pun tidak dapat kuingat. Artinya kamu hadir tidak secara nyata tapi sebab – bukan sihir – khayal.

Ada sakit yang menyusup, bukan karena kamu menghilang tiba-tiba. Tapi karena pukulan sendok – yang khayal itu – membuatku menyadari (lagi) kenyataan bahwa karena kelalaian, aku pernah harus jatuh dalam penyesalan yang kubayar dengan waktu, tenaga, pikiran, uang, perasaan, agar bisa bangkit, berusaha move up secara menggila, lalu sekarang aku? Sakit yang menyusup ini, kusadari sebagai sakit yang mengobati.

Baiklah, ini bukan sekedar tentang mengecilkan jarak ketertinggalanku denganmu atau bagaimana orang lain menggambarkanku. Lebih-lebih ini tentang bagaimana aku menggambarkan diriku untuk kulihat, kan?

“Kerana nanti di kubur, malaikat pun akan tanya, ‘untuk apa masa mudamu’?” Kamu bersuara lagi, kali ini tanpa wujud.

OK, belajar, belajar. Buku, pulpen, laptop, jurnal, sinyal internet, sudah sedia. Tidak lupa, segelas besar air putih dan segelas kopi pahit, sebab kata Imam Syafii, “Barangsiapa tak mau merasakan pahitnya belajar walau sesaat, ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidup.”

“Alahai, pahitnya belajar bukan pahit minum kopi saat belajar.” Lagi, teguranmu datang tanpa wujud.

Selama ini aku juga belajar kok, belajar dari alam, pengalaman, orang-orang sekitar, dan merasakan pahitnya belajar mencintai . . .
 
“Belajar tu upaya sadar, macam tu pun boleh jadi belajar, mengambil tahu isu semasa pun boleh jadi belajar, tapi hampa tau apa yang semestinya dipelajari sekarang. Dah la, nak seribu daya tak nak seribu dalih. Aku tak nak kembali kalau hampa macam ni.”

Pergilah, pergilah! Aku mau fokus!

(tapi jangan lupa untuk datang lagi).


*Hampa = kamu.

#Flashfiction 
#NulisRandom2015 

Ririn Anindya

......

1 komentar: