Ketika Perempuan Menunggu Dua Pagi

Oleh Ririn Anindya Putri
(Telah dimuat di Harian Analisa pada 29 Juli 2012)

Sudah delapan bulan hanya telapak perempuan muda itu sendiri yang mengelus perutnya. Raba hangat ia tuju kepada jabang bayi yang mungkin lelap, mungkin juga terjaga dalam rahim-sebagaimana ia selalu harap. Sudah delapan bulan tak lagi ia temu lelaki yang menikahinya dua tahun lalu, meraba, mengecup, atau mengupingi rumah sementara buah cinta mereka, memeriksa  detak-detak kehidupan.  
Perempuan mana yang tak gaduh jika ia mencinta. Suami pergi, wujud tak kunjung pulang, kabar pun tak datang. Padahal tak pernah-pernah ia jumpa laku seperti itu, terpikir pun tidak. Itulah kini ia hadap. Keluh ia larung dalam. 
****

"Aku lurah di sini tapi dibuatnya anak perempuanku seperti itu. Habis nanti kubuat dia!" Laki-laki berkumis tebal wajahnya  merah masai. Tangannya memukul keras meja makan kayu jepara.  Berulang-ulang. 
"Pelankan suaramu, Pak. Kalau Ransih dengar hancur hatinya nanti, Pak. Bapak juga dulu yang ngotot Ransih nikah sama dia, kan? Bapak pula yang usir dia waktu itu, kan?"
"Dia sudah hancur, Bu. Dulu saja laki-laki itu baik tapi sekarang?" Ia tak lanjutkan ucapan. Pergi melongos. Hanya perempuan paruh baya kini tercenung di ruang makan dengan air mata yang siap tumpah. 
Sekitar satu  jam lalu, seorang kerabat bertandang ke rumah mereka. Niatnya hanya meminta dimudahkan pengurusan KTP. Tapi memang bakat si kerabat satu ini untuk mengobrol ngalur-ngidul.  Bermula cakap kerabat tadi dari katanya-katanya, sampai bercakap ia, "Katanya Si Apong lihat mantumu sama perempuan, usianya mungkin agak lebih tua tapi dandan mencolok perempuan itu. Nah, itu pekan lalu, waktu Apong bawa muatan sawit dari Labuhan Batu ke Panton."
Laki-laki menjabat lurah terkesiap, ia lonjak dari duduk. "Benar itu, Kak? Dimana?" Tamu yang disapa kakak, tak kalah terkejut. Rongga dadanya berdesir kacau. Ia sadar obrol santai suka-sukanya memantik api. Ia merasa tak aman, "Tak tahulah pastinya dimana, kudengar-katanya-di  kedai kopi di Langsa, Si Apong berhenti di situ saat lewat sana."
****

Pemuda berkulit sawo matang dan ramah anak tauke sawit adalah pilihan suaminya untuk putri mereka. Segala usaha mulai tutur manis sampai serapah suaminya lontar untuk mendekatkan putrinya dengan pemuda anak juragan sawit tadi.
"Lurah besanan sama juragan sawit. Cocok kan, Bu?"
Perempuan penuh bakti mengangguk. Ia  suka  calon mantunya bukan karena bapak si calon mantu. Sedangkan hati si anak perawan akhirnya tertambat pula.
Tak sedikit manusia mengamini kalimat hidup seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Tapi bagi suaminya, berharta ya berharta. Jangan disanding dengan kata: hidup susah. Namun, pil pahit harus suaminya kunyah tak boleh dimuntahkan, saat kabar bangkrut si besan tiba. Dan tentu pengangguran mantu tak terelak, sebab mantu bekerja di tempat yang sama. 
Dan kini, si mantu bekerja sebagai supir truk, itu pun serabutan. Setidaknya menyetir ia mampu. 
****

"Tak usah kau pulang kalau tak bawa uang." Matanya menyipit, ia berdesis hanya sejengkal dari wajah menantunya.
"Mau sampai kapan kau seperti ini. Menumpang dan menyusahi kami. Menantu kere!" lanjutnya, kali ini diakhiri dengan meludahi wajah menantunya.
Si lelaki yang disemat gelar kere, menelan ludah. Giginya rapat. Kedua tangan ia kepal kuat. Gemuruh terbit dalam rongga dada. Ia lari ke dapur dan mengambil pisau, lalu menghadiahkan setusuk saja di dada kiri laki yang mengutukinya. Namun, kesadisan hanya liar di kepalanya.  Ia merunduk. Harga dirinya lesap. Sayup terdengar isak dari kamar istrinya. Ya, istrinya menangis. Hatinya kian teriris. 
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, jelas dengan istri saya."
"Hah! Mau tinggal dimana kalian? Mau dikasih makan apa putriku? Percaya diri sekali." Tantang si mertua, kali ini dengan menaikkan kedua lengan baju. Menunjukkan otot-otot kekar meski usia tak lagi muda. 
"Untuk sementara kami akan tinggal di rumah orang tua saya. Saya kan bekerja, Pak. Meski penghasilan saya jauh lebih kecil dibanding dulu."
"Orang tuamu itu sama saja! Hutang mereka juga tak mampu mereka lunaskan. Aku panas kalau melihatmu. Bisa kau pergi? Terserah mau kerja apa, gembong apa terserahlah, asal jangan melarat. Kau dengar itu? Atau kau ceraikan anakku!"
Isak dari kamar tak lagi sayup.  Tangis pecah menderu. 
****

Biji-biji air tumpah dari mata sang istri. Telah basah seperti telaga kaosnya kini. Ia makin rapat memeluk perempuan muda yang tengah mengandung dua bulan. 
"Aku tak pernah bantah mau bapakku, Bang. Tapi kini, aku hanya akan turut maumu saja,Bang."
"Bapakmu mungkin benar, Ransih. Aku menyusahi mereka dan kamu. Dulu harapannya terlampau besar padaku."
"Harga dirimu adalah harga diriku, Bang. Kita pergi saja dari sini, kita bukan lari. Kita telah sah menikah. Kita bukan pencuri. Kau ingat, dengan senangnya ia mengenalkan kita dulu, dengan bangga pula ia menikahkan."
"Kau yakin, kau sanggup?" Biji mata berkaca-kaca kini saling tatap. 
Ransih mengangguk yakin.
"Benar, Ransih. Kita tak salah. Aku bukan pencuri, aku hanya kere. Dan tak akan selamanya."
Keduanya gegas membungkus potong pakaian dengan sarung lusuh. Lewat tengah malam, rumah telah sepi, siapa saja tampaknya telah lelap. Saat itulah mereka jalan berjingkat-jingkat. Mengendap-endap. Mereka bukan pencuri, bukan sedang mencoba kabur. Hanya sepasang suami istri yang hendak menentukan nasibnya sendiri. Dengan cara baik mereka tak pernah peroleh izin untuk pindah rumah. Maka dengan diam mereka coba pergi kini. Padahal izin pindah bukanlah perkara wajib mereka kantongi. 
Pagar baru saja terlewat. Tiba-tiba sepasang tangan menarik tangan Ransih kuat. Sepasang kekasih itu sadar mereka ketahuan. Tangan kanan Ransih ditarik kuat oleh suaminya, tangan kiri ditarik oleh ayahnya.
"Lepas! Dia istriku!"
"Dia putriku!"
"Bapak, lepaskan tanganku! Kumohon!" Bukan melemah, tapi tarikan semakin kuat.
"Ijoool! Darmoo!"  Ayah Ransih meneriaki kedua ajudannya. Ijol dan Darmo tergopoh, hanya sekian detik mereka berdua telah sampai di tepian pagar.
"Bantu pisahkan mereka, gebuk saja laki-laki ini!" Tiga lawan satu. Genggam suaminya terlepas dari Ransih.  Ransih terjatuh. Suaminya dihujan pukulan. Mata Ransih yang melihat namun jantunglah yang terenyuh, teremas-remas.  Matanya melihat namun lehernya yang merasa tercekik.  Tepat di dada kiri kini begitu nyeri. Ransih menangis tanpa suara. Begitu sakit hatinya, tak ia rasa cairan merah alir kedua betisnya. Sesuatu telah terjadi menimpa janinnya.
"Pergi, Bang. Pergi, Bang! Kutunggu pulangmu, kutunggu, Bang!"
Ia melihat istrinya ringkih, rasa yang tak berbeda mendekap. Pedih. Ngilu. Mati pun tak mengapa bagi pemuda itu kini. Hanya tak sannggup melihat perempuan yang dicinta begitu teriksa. Ia mengangguk ragu. "Tunggu abang, Dek. Tunggu." Lelaki itu pergi dengan koyak luka di tubuh dan hati. Sesekali ia menoleh ke Ransih. Ransih, pandangnya tak berpindah sampai punggung suaminya lenyap dilahap jelaga malam.
****

Ia meraba perutnya. Perlahan penuh kasih sayang. Ia raba hangat rumah janin, buah cinta sepasang kekasih yang tengah terpisah, sembari memainkan jemarinya menjentik-jentik naik turun.
"Sayang, sudah sepuluh bulan kamu di sini, Nak. Kamu tak mau keluar? Kamu tunggu ayah pulang dari dalam sini, ya? Sudah sepuluh bulan, Nak. Tapi kenapa kamu tak tumbuh besar? Apa makan ibumu ini kurang banyak?" Air meluap dari ceruk mata kontras dengan senyumnya yang mengembang simetris. Adalah Ransih, perempuan muda yang tak pernah terima bahwa rahimnya telah kosong beberapa bilangan bulan lalu, tepat saat kepergian suaminya. 
****

Ia menghirup kepul aroma kopi perlahan-lahan dan dalam-dalam. Secangkir kopi aceh di kedai kopi bibinya. Belum ia teguk, ia letak kembali  di meja dihadapannya. Matanya yang tajam sarat akan kerinduan. Pikirannya rusuh setiap hari lebih dari separuh tahun, ia tak tenang. Tapi lelaki berkulit sawo matang ini kokoh ambil pilihan yang tak ia suka. Sebuah pena dan buku agenda dikeluarkannya dari laci. Kerap ia ratap kacau hatinya dalam doa atau carik kertas. 
Ransih, Istriku. Abang belum bisa pulang. Maaf tak bisa dampingimu sambut  buah hati kita tiba di dunia ini. Tapi  Abang janji sebelum anak kita pandai berjalan Abang sudah disisimu. Pastinya telah ada berkarung-karung rindu untuk keluarga kecil kita. Namun, itu semua tampaknya belum cukup untuk boleh membuatku pulang, sebelum ada sekarung uang untuk bapakmu.
****

Rumah Cahaya Medan,  April 2012.
Ririn Anindya Putri merupakan mahasiswi Jurusan Matematika FMIPA UNIMED. 

Ririn Anindya

......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar