Salah Kunci (Sebuah memoa di Zaman Alat Peraga di Dik Mat Reg A)

Ada zaman tak terlupa buatku selama di Dik Mat Reg A (Pendidikan Matematika Reguler A), banyak sih. Salah satunya zaman alat peraga. Dimana kami semua mendapat tugas untuk membuat alat peraga pembelajaran matematika sekeren-kerennya, tentu itu tidak sulit karena kami memang sudah lama keren jadi sudah akrab dengan apa yang disebut keren (setidaknya anggap saja membahagiakan kelas sendiri). Nah, mulailah ada yang jadi pemulung buah saga di kampus untuk hiasan, guntingin kertas, origami, pita-pita, ini kuliah apa PKK? Tapi begitulah adanya, berkumpul di koridor kampus, di kos an, di mushola, di teras masjid, dan juga di teras biro rektorat atau birek. Teras birek sendiri ada dua: teras belakang dan teras depan (mana yang depan dan yang belakang aku masih enggak yakin), teras yang satu menghadap ke gedung perpustakaan kampus, yang satunya lagi menghadap ke jalan Williem Iskandar, di teras yang mengahadap ke jalan Williem Iskandar-lah kami biasa membentuk koloni. Teras birek itu lebih tinggi dari halaman birek, dari halaman ke teras atau beranda birek kita mesti menaiki sekitar 6 anak tangga (atau 8 anak tangga?). Terasnya lumayan luas, berlantaikan keramik putih, dan halaman birek sendiri di diami pepohonan rimbun (tapi kalau siang teras tadi terasa panas juga) namun kalau pagi atau lewat tengah hari dikit baru enak dijadikan lapak kerja kelompok. Nah, karena itu kerap teras tersebut dijadikan tempat diskusi dan saat itu mulailah kami bertebar di sana bagai ketombe.
Aku lupa waktu itu satu kelompok dengan siapa saja, tapi seingatku ada Diah, Evi, Lidya, Erni, almarhumah Cut, Budi, dan Chan, mungkin  juga Putri. Kalau perihal kerja kelompok, Si Chan biasanya telat, maklum nih anak lagi laris sebagai tentor. Waktu itu juga gitu, kami sudah berleseh-lesehan beberapa lama di teras birek demi sebuah alat peraga Si Chan belum juga datang. Dan ternyata ada bahan yang kurang, mau enggak  mau harus merencanakan berkelana mencari bahan yang kurang itu. Tiba-tiba Si Chan tiba, masih ngos-ngosan. “Eh, Chan. Pergi dulu beli ini, itu, bla, bla, bla…” Si Chan dengan wajah nelangsa mendumel, “Akuuuuu aja yang kalian suruh.” Satu-dua orang serentak, “Namanya ko telat!” Chan pasrah, “Yaudah sini kubeli, pinjam dulu kereta (motor) mu, Rin.” Aku pun memberikan kunci motorku, kunci motor dengan gantungan yang sangat panjang seraya menjelaskan dimana dan yang mana motorku.
Sekitar 5 menit setelah Chan menuruni anak tangga teras birek menuju halaman birek, halaman yang tepat di depan teras, di halaman itulah aku memarkirkan motor (kalau di Medan menyebutkan “motor” itu biasanya dengan “kereta”), jaraknya enggak lebih dari 15 meter dari tempat kami berkumpul. Dia muncul lagi. “Rin, enggak bisa kuncinya, salah kunci nih.” Sambil menggunting kertas warna-warni aku menyahut, “ Emang agak susah tuh kuncinya, waktu itu mungkin pernah mau dicuri kereta (motor) nya, jadi mungkin agak dipreteli tempat kuncinya itu, coba aja lagi.” Dia kembali lagi ke parkiran. Gak berapa lama…
“RIIIN, SALAH KUNCI NIH!” Chan berteriak dari parkiran. Aku pun bangkit. Sampai seorang mahasiswa lain pun bangkit, dia mellihat Chan aneh.
“Salah kunci, nih!” Chan protes lagi.
Aku terhenti di tepi teras, Chan menunggangi motor dan masih berusaha mencoba memasukkan kunci motor.
 -____-“ (heran plus speechless)
Lagi,
-____-“
“OI, CHAN! KERETAKU BUKAN YANG ITU! TAPI YANG DISEBELAHNYA YANG ADA HELM BIRU!”
Ahahaha, kalau ingat itu… Dugaku karena lelah Si Chan jadi enggak konsentrasi atau bahkan terlalu konsentrasi. Mungkin motor yang ditungganginya itu motor mahasiswa yang ikut bangkit saat Chan berteriak, mahasiswa yang memandang Chan dengan tatap aneh mengarah ke sinis. Untungnya enggak diteriaki “Maliiing!”

Ririn Anindya

......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar