Medan, 26 November 2011
Sayang, apa kau sudah makan? Kalau
belum, kau harus makan dulu, baru kembali baca suratku. Aku tak rela suamiku
kelaparan karena aku tak lagi memasakkan makanan untuknya.
Sayang, surat ini ku tulis saat kau
sedang roadshow bukumu yang best seller itu. Bukankah ada
terselip kisah kita di buku itu?
Aku menulis dengan rasa yang …
entahlah. Entah bagaimana melukiskannya. Tapi, kau harus ingat: rasa bahagiaku
menjadi istrimu, tak berkurang sedikit pun.
Pekan lalu, dokter menghubungiku,
hasil tes kesehatanku sudah keluar. Kalau bukan karena ibu mertua, mungkin aku
tak pernah merasa penting melakukan pemeriksaan itu. Aku masih sangat santai.
Merasa sangat sehat. Mungkin karena sangat bahagia, jadi calon ibu, juga karena
jadi perempuan yang halal memandangimu sesukaku. Istrimu ini, kadang-kadang
centil juga ya? Tapi kan hanya padamu aku begitu.
Kau tahu, apa kata dokter itu. Dia
kurang ajar sekali. Dia bilang calon bayi kita harus diangkat dari rahimku,
karena jika tidak janin yang tidak berdosa ini bisa membahayakan ibunya. Karena
suatu penyakit yang sulit sekali aku mengatakannya dan sudah memasuki tahap,
tahap apa dia bilang, lupa. Cukup terlambat. Dia gila, kan?. Ingin kujahit
mulutnya! Aku periksa ke rumah sakit lain. Eh, ternyata bertemu dokter yang
sama kurang ajarnya. Dia juga bilang hal yang sama. Aku merasa tidak ada yang
salah dengan calon bayi kita, bukan di rahim ini yang sakit, tapi hati ini
sakit sekali, tak terperikan. Mereka tak tahu apa-apa, kalau aku punya 10
nyawa, 10 nyawa akan kuberikan semuanya! Bahkan kalau ada rentenir yang
meminjamkan nyawa, aku akan datangi ia. Tapi tidak ada. .
Medan, 12 Desember 2011
Sayang, aku ingin segera melihat
bayi ini lahir. Meski taruhannya harus meninggalkan dunia ini. Tapi bukankah
mati itu pasti untuk setiap yang bernyawa? Aku memang takut sekali jika tidak
bisa melihat wajahmu, senyummu. Tapi, entah bagaimana aku merasa, aku akan
tetap bisa melihatmu dari mata anak kita nanti, menggenggam tanganmu melalui
jemari lentiknya, bahkan bisa bergelayutan di pundakmu. Meski dia bukan aku. Aih,
kenapa harus 9 bulan 10 hari, sih ? Kenapa aku harus menungu 5 bulan lagi? Ya
Rabb, masihkah ada waktuku? Aku ingin sekali bisa membuat foto keluarga: ada
kau, aku dan anak kita. Bagaimana kalau kita ke studio foto yang ada di simpang
tiga itu? Tempat kita berdua pernah berfoto dulu, sesaat setelah akad, kau
setuju?
Sekarang, aku sudah benar-benar
merasakan, sesuatu yang tidak biasa memberontak di dalam tubuhku, mereka
serentak menggerogotiku. Mungkin dokter itu ada benarnya juga, sampaikan maafku
karena pernah memakinya. Tapi, maaf lagi, aku adalah pasien yang keras kepala.
Aku masih bertanya-tanya, masihkah ada waktuku? Mampukah tubuhku ini bertahan?
Aku harus bisa. . Tapi, kalau tidak bisa, kau harus bisa menerimanya. Maafkan,
Sayang. Aku ingin sekali mengatakannya padamu, tapi setiap kali ingin
mengatakannya setiap itu pula mulutku terkunci.
Sayangku, setelah aku pergi. Kau
boleh menikah lagi. Bahkan sesaat setelah aku dikebumikan. Namun baiknya kau
tunggu saja sampai tanah kuburku kering. Kau tahu kan, bagaimana ayah mertuamu
mencintaiku, bagaimana cerewetnya ibuku, kau harus jaga perasaan mereka. Kau
pasti tahu, kau kan sudah pernah melalui masa-masa merampasku dari tangan
mereka. Carilah pendamping yang lebih baik, yang takut kepada Rabbnya, tapi tidak
boleh lebih cantik, ingat itu! Hm, bagaimana kalau kita buat sebuah strategi.
Jangan kau pikir aku sedang mengajakmu mengelabuhi Allah. Kita tidak mungkin
bisa dan tak berani. Aku sedang mengajakmu menagih janjiNya, kira-kira seperti
ini ya bunyinya? “Ridho suami adalah syurga bagi istrinya”, bukan begitu?
Bukankah Ia yang paling menepati janji? Kau wajib ridhoiku selama aku menjadi
istrimu, ridhoi pula kepergianku, agar aku bisa menunggumu di surga dan kau
harus jadi manusia yang baik.. agar kita bisa bertemu lagi, di antara para
bidadari nanti ada aku disitu. Tapi tolonglah ketika saat itu tiba, matamu
jangan jelalatan pada para bidadari itu, ya? Aku bisa cemburu. Rasa cemburuku,
kubawa sampai surga. Ah, belum pergi saja aku sudah sangat rindu padamu.
Pada akhirnya aku menyadari, bahwa
Allah itu Maha Baik, dia sangat menyayangi kita. Buktinya, begitu banyak
nikmatNya. Salah satunya, Ia telah mempertemukan aku dan kamu, dan kamu telah
memberiku rasa bahagia menjadi calon ibu dari anakmu. Meski mungkin hanya
sebuah rasa. Aku tak pernah menyesal. Sedikit pun tidak. Allah mencintai kita,
lebih dari yang kita tahu. Ia sedang menyiapkan kejutan lain untuk kita,
kebahagiaan yang tak terperikan, aku percaya itu. Aih, sayang.. jadi rindu
ingin segera bertemu denganNya, maaf ya jika duluan. Kau harus jalani hidup ini
dengan bahagia, denganku atau tanpaku, dengan anak kita atau tanpanya, tapi
harus dengan Tuhanmu, penciptamu. .
Ririn Anindya
-Rumah Cahaya. November 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar